Sabtu, 23 Juli 2011

Kopi Kalosi


POTENSI PENGEMBANGAN KOPI
DI KABUPATEN ENREKANG SULAWESI SELATAN

 Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia.  Hal ini karena kopi telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi devisa negara, menjadi ekspor non migas, selain itu dapat menjadi penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani pekebun kopi maupun bagi pelaku ekonomi lainnya yang terlibat dalam budidaya, pengolahan, maupun dalam mata rantai pemasaran. Menurut Sihotang (1996), pengelolaan komoditi kopi telah membuka peluang bagi tidak kurang dari lima juta petani baik yang terlibat langsung sebagai petani maupun sebagai pekerja kebun. >>
Indonesia pernah mengalami penurunan produksi, hal ini disebabkan karena umur kopi yang sudah cukup tua dan  pemeliharaan yang tidak intensif.  Namun hal tersebut dapat diatasi dengan cara merehabilitasi tanaman kopi yang tidak produktif lagi dan meningkatkan pemeliharaan terhadap tanaman kopi tersebut.  Dengan demikian peranan kopi tetap dapat dipertahankan dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nasional, mengingat kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang unggul (Retnandari dan Tjokrowinoto, 1991).
Peranan sub sektor perkebunan bagi perekonomian nasional tercermin dari realisasi pencapaian PDB yang mencapai Rp. 106,19 trilyun (atas dasar harga
berlaku) pada tahun 2008 atau berkontribusi 14,89% dari total PDB sektor pertanian secara luas. Sementara, peranan ekspor komoditas perkebunan pada
tahun 2008 memberikan sumbangan surplus neraca perdagangan bagi sektor pertanian sebesar US$ 22,83 milyar dimana sub sektor lainnya mengalami defisit (Anonim, 2009).
Di Indonesia, pada saat ini sekitar 95% tanaman kopi diusahakan oleh rakyat, sementara perkebunan negara dan swasta hanya berkontribusi masing-masing sebesar 3,13% dan 1,79%. 
1. Perkembangan Luas Areal, Produksi Dan Produktivitas Kopi Di Indonesia
Di Indonesia, tanaman kopi dibudidayakan oleh rakyat dan perkebunan besar di beberapa tempat, antara lain DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, NTT dan Timor-Timur.
Secara umum pola perkembangan luas areal kopi di Indonesia pada periode tahun 1970–2008 cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3,33% per tahun atau meningkat dari 395 ribu ha tahun 1970 menjadi 1,3 juta ha tahun 2008.
Gambar 1. Perkembangan luas areal kopi menurut status pengusahaan di
 Indonesia, 1970 – 2008
Berdasarkan status pengusahaan, perkebunan rakyat (PR) memiliki rata-rata pertumbuhan luas areal per tahun yang paling besar yaitu 3,67%, yakni dari
351 ribu ha pada tahun 1970 menjadi 1,25 juta ha pada tahun  2008, diikuti oleh perkebunan besar swasta (PBS) meningkat sebesar 1,71% (23 ribu ha pada tahun 1970 menjadi 29 ribu ha pada tahun 2008) dan perkebunan besar negara (PBN) meningkat sebesar 1,22% per tahun (20 ribu ha pada tahun 1970 menjadi 24 ribu ha pada tahun 2008) (Gambar 1). Secara rinci perkembangan luas areal kopi menurut status pengusahaan sejak tahun 1970 – 2008 dapat dilihat pada Lampiran 1.
Dari data luas areal kopi di Indonesia tahun 1998 – 2008, terlihat PR mendominasi luas areal kopi dengan kontribusi mencapai 95,38% terhadap luas areal kopi Indonesia, sedangkan  PBN dan PBS hanya sebesar 2,34% dan 2,28% (Gambar 2).
Gambar 2. Kontribusi luas areal kopi menurut status pengusahaan
                 di Indonesia, 1970 -2008
Sementara itu, perkembangan produksi kopi Indonesia selama tahun 1970-2008 juga cenderung meningkat (Gambar 3). Pada tahun 1970 produksi kopi Indonesia sebesar 185 ribu ton meningkat menjadi 683 ribu ton pada tahun 2008 dengan rata-rata pertumbuhan selama periode tersebut 4,05% pertahun. 
Gambar 3.   Perkembangan produksi kopi menurut status pengusahaan
           di Indonesia, 1970-2008.

Namun dari Gambar 3 terlihat bahwa produksi kopi tidaklah stabil, hal ini menurut Alam (2006) bahwa peningkatan harga kopi sepanjang tahun 2003 hingga pertengahan tahun 2004 tampaknya dipicu oleh kemerosotan produksi kopi dunia tahun 2003 yang diperkirakan hanya 101,2 juta karung atau terendah sejak terjadinya krisis kopi dunia tahun 1998. Namun sejak pertengahan tahun 2004, harga kopi dunia kembali merosot karena produksi kopi dunia tahun 2004/2005 diperkirakan kembali naik melampaui tingkat konsumsi kopi dunia yaitu antara 112- 117 juta karung. Di Indonesia sendiri, Sulawesi Selatan (Sulsel) merupakan salah satu daerah sentra produksi kopi dengan luas areal penanaman mencapai 61.285 hektare.  Berdasarkan data dari Disbun Sulsel, rata-rata produksi kopi Sulsel setiap tahunnya mencapai 18.000 ton.
Berdasarkan status pengusahaan terlihat produksi kopi PR cenderung meningkat sebesar 4,27%, PBS meningkat 5,47% dan PBN meningkat 3,77% (Lampiran 2).  Peningkatan produksi kopi PR disebabkan pertumbuhan yang cukup tinggi tahun 1979 dan 1989, sebesar 24,88% dan 43,56%. Sejalan dengan itu, rata-rata produksi kopi PR tahun 1998 – 2008 mencapai 95,08% dari produksi kopi Indonesia, sedangkan PBN dan PBS  sebesar 3,13% dan 1,79% (Gambar 4).
Gambar 4. Kontribusi rata-rata produksi kopi menurut status      
                pengusahaan di Indonesia, 1998 – 2008
Tidak hanya luas areal perkebunan kopi yang berpengaruh terhadap produksi kopi, jenis kopi yang diusahakan juga berpengaruh terhadap besarnya produksi kopi yang dihasilkan.  Indonesia juga membudidayakan jenis kopi yang berkualitas seperti kopi spesialti.  Kopi spesialti adalah kopi Indonesia yang mempunyai nama di pasar Internasional, seperti Java coffee, Gayo Mountain coffee, Mandheiling coffee, dan Toraja/Kalosi coffee (Karo, 2010).
Selama ini Indonesia dikenal sebagai penghasil kopi robusta terbesar di dunia (±23,6%).  Di sisi lain, meskipun kontribusi kopi Arabika Indonesia dalam perdagangan kopi dunia secara kuantitatif masih sangat kecil, namun secara kualitatif sangat disukai konsumen dengan keanekaragaman jenis serta cita rasanya yang spesifik.  Keseluruhan dari jenis kopi tersebut merupakan kopi Arabika spesialti.  Kopi spesialti asal Indonesia makin popular mulai akhir tahun 1980-an terutama di kalangan masyarakat Amerika Serikat dan Eropa Barat.  Pada tahun 1997, Indonesia menjadi pemasok kopi spesialti terbesar ketiga setelah Kolombia dan Meksiko dengan pangsa 10% dari total impor kopi spesialti Amerika Serikat yang besarnya mencapai 75 ribu ton (Herman, 2008).
Dari data tahun 2003 – 2008, sebesar 87,24% produksi kopi Indonesia adalah kopi robusta dan selebihnya kopi arabika sebesar 12,76% (Gambar 5). Produksi kopi Indonesia menurut jenis kopi disajikan pada Lampiran 3.
Gambar 5.  Kontribusi produksi kopi di Indonesia menurut           
               jenisnya, 2003– 2008.
Pada tahun 2004 – 2008, terdapat 6 (enam) provinsi sentra produksi kopi yang memberikan kontribusi sebesar 74,05% terhadap total produksi kopi Indonesia, seperti yang disajikan pada Gambar 6.  Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung merupakan provinsi sentra produksi kopi terbesar yang berkontribusi masing-masing sebesar 22,32% dan 21,65% terhadap total produksi kopi Indonesia, disusul berturut-turut provinsi Bengkulu, Sumatera Utara, Jawa Timur dan NAD masing-masing berkontribusi sebesar 9,21%, 7,29%, 7,14%, dan 6,44%.  Secara rinci sentra produksi kopi di Indonesia disajikan pada Lampiran 4.
Gambar 6. Provinsi sentra produksi kopi di Indonesia, 2004 - 2008
Perkembangan produktivitas kopi menurut status pengusahaan di Indonesia selama tahun 2003 – 2008 terlihat pola yang sama kecuali PBS yang
terlihat fluktuatif. Rata-rata produktivitas kopi Indonesia sebesar 697,13 kg/ha, dimana produktivitas kopi terbesar pada PBN yaitu 711,83 kg/ha, disusul PR sebesar 696,50 kg/ha dan PBS sebesar 571 kg/ha (Gambar 7).
Gambar 7. Perkembangan produktivitas kopi di Indonesia, 2003– 2008
Dari gambar terlihat bahwa produktivitas perkebunan rakyat masih rendah, hal ini disebabkan karena:  pada beberapa daerah iklimnya kurang cocok, perkebunan rakyat masih menggunakan klon bibit yang tidak unggul, tanaman sudah tua dan tidak diremajakan, dan pemeliharaan yang kurang memadai.
Rendahnya produktivitas dan mutu kopi kurang menguntungkan bagi petani karena tingkat pendapatan menjadi rendah.  Selain itu terdapatnya jalur pemasaran yang panjang akan mengakibatkan kopi yang diterima petani sangat rendah (Wally, 2001).
2. Perkembangan Produksi, Produktivitas dan Luas Lahan Kopi di Sulawesi
   Selatan
Sulawesi Selatan merupakan salah satu propinsi di Kawasan Timur Indonesia yang memiliki potensi pengembangan kopi. Hal ini ditunjukkan dengan areal penanaman yang cukup luas serta keadaan agroklimatologi yang sangat mendukung. Berdasarkan laporan dari Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan, (2005) menunjukkan bahwa luas lahan yang berpotensi untuk pengembangan kopi masih tersedia 27.344 ha, yang hampir seratus persen dari areal tanam yang ada sekarang, yakni 39.834 ha. Perkembangan jumlah produksi dan produktivitas juga memperlihatkan kinerja yang sangat baik. Pada tahun 2001 jumlah produksi dan produktivitas masing-masing hanya mencapai 14.135 ton dan 555 kg per ha dan memasuki pertengahan tahun 2006 dilaporkan bahwa jumlah produksi dan produktivitas masing-masing meningkat mencapai 16.958 ton dan 730 kg/ha. Ini berarti dalam kurun waktu lima tahun terjadi peningkatan produksi dan produktivitas 16.78% dan 23,97% (Alam, 2006).
Pada rentang waktu tahun 1977 – 2002, produksi kopi Sulawesi Selatan mencapai 202.165,50 ton kopi robusta dan 15.619 kopi arabika. Lokasi produksinya tersebar pada tujuh kabupaten.  Produksi kopi robusta di atas 1000 ton per tahun dihasilkan di Kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Sinjai, Pinrang, Luwu,  Lutra dan Toraja.  Sementara kopi arabika di Kabupaten Toraja, Enrekang dan Gowa yang produksinya juga masing-masing mencapai di atas 1000 ton per tahun (Alam, 2006).  Kopi arabika yang dihasilkan oleh Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Enrekang di Sulawesi Selatan ini sudah dikenal luas di luar negeri dengan nama Kopi Toraja dan Kopi Kalosi (Abdullah dkk, 1996).
Jenis kopi Robusta merupakan pertanaman yang lebih dominan, namun dalam perdagangan kopi dunia jenis Arabika menempati proporsi terbesar yaitu mencapai 70%.dari perolehan devisa komoditas perkebunan Indonesia, Kopi menduduki urutan keempat setelah kayu, karet, dan kelap sawit. Pada tahun 1995 volume ekspor kopi sebesar 230.201 ton dengan nilai US $ 606.364.000 (AEKI, 1996; Ditjenbun,1996).
Di samping potensi pasar yang cukup prospektif, permintaan akan komoditas ini cukup tinggi. Permintaan setiap tahun komoditas ini cenderung meningkat, tidak hanya untuk konsumen lokal, regional, nasional bahkan internasional. Meningkatnya permintaan akan komoditas tersebut ditunjukkan dari nilai harga jual cenderung meningkat setiap tahun, baik harga pada        tingkat petani maupun pada tingkat eksportir.  Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Potensi  Lahan  Pengembangan,  Luas  Tanam, Produksi, Produktivitas,     
              Harga Jual serta Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Kopi Robusta dan  
            Arabika, Tahun 2006.
No
Uraian
Robusta
Arabika
Tahun 2001
Tahun 2006
Tahun 2001
Tahun 2006
1.

2
3.
4.
5.


6.
7.
Potensi lahan yg
dpt dikembangkan
Luas tanam
Produksi
Produktivitas
Harga :
a. Tingkat petani
b. Tkt Exportir
Volume Expor
Nilai Ekport

95.987
48.046
24.843
683

7.108
9.417
33
33.825


42.112
15.475
15.475
735

11.250
12.250
115*
109.125*

28.552
47.143
14.135
555

10.531
25.105
2.386
5.132.356

27.334
39.834
16.985
730

22.750
32.225
5.558*
16.459.541*
Keterangan : *) data tahun 2005; Sumber: Laporan Dinas Perkebunan Prov.
                   Sulsel, 2006
3. Potensi Pengembangan Kopi Kalosi Enrekang
Tanaman kopi yang dikembangkan oleh petani diKabupaten Enrekang, umumnya adalah tanaman kopi rakyat yang diusahakan pada kebun-kebun yang terpencar pada kawasan yang cukup luas. Tanaman ini juga banyak diusahakan pada lahan pekarangan dan ditanam disekitar rumah. Tanaman kopi rakyat sebagian besar tanaman tua, tanaman semaian dari bibit tanaman lokal dan umumnya merupakan kegiatan usaha sampingan selain ladang untuk padi dan sayuran.
Kopi kalosi adalah salah satu kopi terbaik di dunia, merupakan salah satu komoditi unggulan Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan.  Kopi kalosi adalah kopi jenis Arabica typica yang hanya bisa dibudidayakan pada daerah ketinggian 1.500 di atas permukaan laut, yang merupakan kopi langka dan tertua di dunia. Di Indonesia, jenis kopi ini hanya bisa tumbuh di Kabupaten Enrekang yang terletak di daerah pegunungan (dengan ketinggian kurang 2.000 meter di atas permukaan laut) dengan iklim dingin.  Kabupaten Enrekang, menjadi salah satu penghasil kopi berkualitas bagus yang mendapat pengakuan dari beberapa negara di dunia. Sejak beberapa tahun silam, kopi Kalosi sudah terkenal bahkan diekspor hingga ke luar negeri dengan harga tinggi, seperti ke Jerman, Jepang dan Amerika.  Kopi ini disukai di luar negeri karena rasa dan aromanya yang khas.  Memang kopi ini lebih dikenal diluar negeri, dan untuk di Indonesia sendiri kopi ini masih kalah pamor dengan kopi luwak, kopi bali, atau kopi toraja. Selain itu mungkin pemasarannya khusus di Indonesia masih terbatas karena kelangkaannya.
Pengembangan kopi Arabica typica di Enrekang dilakukan sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, di antara tahun 1725 sampai 1780, Pemerintah Belanda melalui VOC memonopoli perdagangan kopi dunia. Mereka melakukan penanaman kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selanjutnya, mereka melebarkan sayap dengan menanam kopi di luar Pulau Jawa, seperti di Sulawesi, Sumatera dan Bali. Di Sulawesi, tepatnya di wilayah Kabupaten Enrekang, penanaman kopi Arabica typica mulai ditanam tahun 1750. Dengan menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), VOC menangguk keuntungan besar dari perdagangan kopi tersebut (http://www.enrekang.com).
Namun perkebunan kopi Arabica typica tersebut sebagian besar hancur saat penyakit daun kopi menyerang Indonesia. Sehingga, kopi jenis ini sempat hilang di pasaran dan dianggap punah.  Keberadaan Kopi Kalosi dengan berjalannya waktu, sempat mengalami pergeseran sebagai tanaman perkebunan yang mulai langka di era tahun 70-an, sebab mulai bermunculan berbagai jenis kopi lain yang berbeda dengan produksi sedikit lebih tinggi.
Di Kabupaten Enrekang tercatat sekitar 1480 ha dari total area 10.444 ha merupakan tanaman berumur lanjut yang perlu untuk diremajakan. Tanpa usaha peremajaan Kabupaten Enrekang akan kehilangan pertanaman kopi arabika sekitar 1480 ha (Disbun Enrekang, 2003). Setara dengan produksi tidak kurang dari 1.036 t atau kehilangan penerimaan sebesar US $ 1,15 juta/tahun.
Demam akan biji kopi yang ternyata dikenal Kopi Kalosi, mendorong pemda setempat melalui teknis terkait bersama pakar pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas)  kembali melacak keberadaan tanaman tersebut yang masih bertahan di sekitar areal kaki pegunungan Latimojong tepatnya di Kecamatan Bungin Perkampungan Nating Desa Sawitto.  Disitulah ditemukan kembali Kopi Kalosi dan dibudidayakan dengan kultur jaringan dalam laboratorium.   Selain itu Pemkab bekerjasama dengan Unhas melakukan kegiatan pembibitan sambung pucuk pohon kopi Arabica typica dan pembangunan kebun induk benih seluas 30 ha di Desa Sawitto. Saat ini, tercatat hanya ada sekira 13.200 pohon kopi Arabica typica yang tersebar di 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Bungin, Buntubatu, Masalle, Baraka dan Baroko  (http://www.sentrakukm.com).   Kecamatan Bungin yang juga dipersiapkan sebagai sentra pengembangan specialty coffee Kalosi. Langkah tersebut dilakukan untuk menyediakan benih tanaman kopi bermutu dan menjaga keaslian kopi Kalosi. Sebab, disinyalir selama ini ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab mencampur kopi Kalosi dengan jenis kopi lain sehingga menghilangkan kepercayaan pasar.
Sejak beberapa tahun silam, kopi Kalosi sudah terkenal bahkan diekspor hingga ke luar negeri dengan harga tinggi, seperti ke Jerman, Jepang dan Amerika. Kopi ini disukai di luar negeri karena rasa dan aromanya yang khas. Bahkan, tahun 2008, Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PKKI) menempatkan kopi hasil Tanah Duri di Bumi Massenrempulu tersebut di rating pertama terbaik di Indonesia (http://www.enrekang.com).
Berdasarkan prestasi itu, Badan Pengelola Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (BP Kapet) Kota Parepare, Sulawesi Selatan, wilayah Ajatappareng kemudian menjalin kerja sama dengan investor dari negeri jiran, Malaysia, yang mulai melirik dan tertarik dengan biji kopi petani Enrekang. Kedatangan investor Malaysia sebagai tindak lanjut atas rencana MoU ekspor kopi Enrekang langsung ke Kuala Lumpur. Sebelumnya  kopi Enrekang paling banyak dibeli pengusaha-pengusaha dari Aceh yang kemudian memasarkan kopi Enrekang ke luar negeri, di antaranya Kuala Lumpur sehingga kopi Enrekang kemudian dikenal di Malaysia (http://www.compas.com).
Selain Malaysia, cita rasa kopi Enrekang juga menarik perhatian tiga investor asal Australia, China, dan Jerman. Tiga negara itu belum lama ini juga menyatakan keseriusannya menggarap potensi kopi arabika di Kabupaten Enrekang, yang rata-rata per tahun di tiap desa bisa menghasilkan 300 ton. Dengan semakin banyaknya investor yang tertarik dengan  kopi Enrekang, hal itu semakin menambah semangat petani setempat untuk lebih mengembangkan tanaman kopi. Selain itu pemasaran lebih mudah, harga jual kopi Enrekang pun terus merambat naik. Saat ini, harga kopi jenis arabika mencapai 180 dollar AS (setara Rp 160.000) per kilogram (Fiyan,  2011).
Dengan melihat potensi pengembangan yang cukup besar ini maka untuk meningkatkan  produksi kopi, untuk itu perlu dilakukan pembinaan yang intensif kepada petani mengenai pentingnya pemeliharaan kebun kopi, cara panen samapai pengolahannya sehingga mutu kopi terjaga.  Kultur masyarakat yang kurang memperhatikan perawatan kebun harus segera ditinggalkan mengingat tanaman kopi harus lebih sering dirawat, terutama dilakukan pangkasan untuk memacu pertumbuhan cabang produksi yang baru untuk meningkatkan produksi pada panen selanjutnya, serta pengaturan tanaman penaungan (Ambarsari dkk, 1999). Di Kabupaten Enrekang sendiri, upaya  yang dilakukan  adalah intensifikasi dan perluasan tanaman kopi, pembinaan petani dan penguatan kelompok tani melalui petugas pendamping, pengadaan sarana dan prasarana serta paket teknologi yang bebas dari bahan kimia. Salah satu permasalahan dalam pengembangan kopi Kalosi adalah pembudidayaan yang masih dilakukan secara tradisional oleh masyarakat setempat dan belum sepenuhnya menerapkan teknologi budidaya tanaman kopi.  Akibat penanganan on farm dan off farm yang belum memadai, produk yang dihasilkan didominasi biji asalan sehingga berpengaruh terhadap rendahnya mutu kopi. Di samping itu, diversifikasi produk kopi olahan belum berkembang, sehingga dengan keberadaan petugas pendamping,  para petani tergerak untuk menerapkan teknologi budidaya tanaman kopi secara modern.
Upaya lain yang ditempuh Pemkab Enrekang adalah menjalin kerjasama dengan pihak swasta melalui ujicoba rasa menjadi kopi bubuk dan sari kopi. Hak paten kopi kalosi ini pun sementara diurus sehingga dengan adanya hak paten tersebut,  petani bisa memasarkan kopi dengan brand specialty coffee Kalosi DP sebagai ikon kopi dan brand mark Kabupaten Enrekang sehingga mampu membangun kembali citra kopi Kalosi yang terkenal di luar negeri (http:/ www.enrekang.telukpalu.com).
























DAFTAR PUSTAKA

AEKI,1996. Realisasi ekspor kopi Indonesia, Tahun kopi : 1980/81-1994/1995. Warta AEKI, Jakarta, No. 47, hal 13.

Alam, S., 2006.  Kelayakan Pengembangan Kopi SebagaiKomoditas Unggulan di Propinsi Sulawesi Selatan.  Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar.

Ambarsari dkk, 1999.  Studi Komparatif Usahatani Kopi Robusta Organik dan Non Organik di Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulon Progo.  Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Anonim, 2009.  Outlook Komoditas Pertanian (Perkebunan).  Pusat Data dan Informasi Pertanian. Departemen Pertanian.

---------,  2010.  http://enrekang.com/tag/potensi-enrekang.  Diakses pada 16 Juni 2011

---------,  2010.  http://enrekang.com/2010/04/mengembalikan- kejayaan-kopi kalosi-enrekang. Diakses pada 16 Juni 2011

---------, 2010.  http:/www.enrekang.telukpalu.com/2010/04/22/mengembalikan kejayaan - kopi kalosi-enrekang.  Diakses pada 16 Juni 2011

---------,  2011.  http://kec. bungin.wordpress.com/2011/02/22/profil-ke.bungin. Diakses pada 8 Juni 2011.

---------,  2010.  http://www.sentrakukm.com/2010/09/23/mengembalikan-kejayaan-kopi-kalosi enrekang.  Diakeses pada 16 Juni 2011

---------, 2010. http:/waroengkemanx.blogspot.com/2010/09/kopi-kalosi asli Enrekang. Diakses pada 8 Juni 2011.

Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan, 2005.  Laporan Tahunan, Pengembangan Kopi di Sulawesi Selatan. Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan.

Ditjebun, 1996. Program pengembangan Indonesia 1995-1997. Kopi. Direktorat Jendral Perkebunan RI, Jakarta,89 hal.

Fiyank, 2011.  Kualitas Kopi Kalosi Diakui Dunia (Kopi Kalosi Menarik Investor dari Negara Eropa dan Amerika).  http://zalfaaqilah.worpress.com.

Karo, H.S.A.B., 2009.  Analisis Usahatani Kopi di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.  Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.

Miswar, 2009.  Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Beralihnya Petani dari Usahatani Kopi ke Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus Petani di Desa Pandung Batu Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang, Sul-Sel).  Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makssar.

Nurung, M., 1997.  Efisiensi Alokatif dan Respon Penawaran Usahatani kopi Rakyat di Propinsi Bengkulu. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sihotang, 1996.  Analisis Penawaran dan Permintaan Kopi Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional.  Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wally, A.F., 2001.  Analisis Keuntungan dan Efisiensi Alokatif Usahatani Kopi Rakyat di Jayawijaya Irian Jaya.  Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar